Pajak Tenaga Medis: Beban yang Tidak Masuk Akal?

Pajak Tenaga Medis dinilai tak adil?

Pajak bagi tenaga medis di Indonesia, khususnya dokter spesialis, tengah menjadi perdebatan panas. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan keberatan atas kebijakan pajak yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 168 Tahun 2023. Kebijakan ini dinilai tidak adil karena pajak dikenakan berdasarkan penghasilan bruto, bukan pendapatan riil yang diterima dokter setelah bagi hasil dengan rumah sakit.

Sistem Pajak bagi Dokter dan Tenaga Medis

Dokter di Indonesia dikenakan PPh Pasal 21 yang berlaku untuk tenaga ahli. Sistem pajaknya berbeda tergantung pada status pekerjaannya:

1. Dokter sebagai Pegawai Tetap Rumah Sakit

  • Jika dokter bekerja sebagai pegawai tetap di rumah sakit, pajaknya dihitung berdasarkan tarif progresif 5% hingga 30% dari Penghasilan Kena Pajak (PKP).

2. Dokter yang Praktik di Rumah Sakit (Non-Pegawai Tetap)

  • Pajaknya dihitung berdasarkan 50% dari penghasilan bruto, sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit.

3. Dokter yang Memiliki Penghasilan dari Berbagai Sumber

  • Dokter yang mendapatkan honor dari seminar, pelatihan, hingga konsultasi dikenai pajak progresif berdasarkan penghasilan total mereka di berbagai sumber.

Mengapa Pajak Dokter Dinilai Tidak Adil?

Ada beberapa alasan mengapa pajak tenaga medis dianggap terlalu tinggi dan tidak masuk akal:

1. Pajak Dikenakan pada Penghasilan Bruto, Bukan Netto

Dokter yang bekerja di rumah sakit tidak menerima seluruh pembayaran jasa medis dari pasien, karena harus berbagi dengan rumah sakit sesuai kontrak. Namun, pajak tetap dihitung berdasarkan penghasilan bruto yang dibayarkan pasien. Artinya, dokter membayar pajak atas pendapatan yang sebenarnya tidak mereka terima.

2. Pajak Berbasis Omzet, Seperti Pajak Perusahaan

Dokter dikenakan pajak sebelum dikurangi biaya operasional, seperti layaknya pajak perusahaan yang dikenakan atas omzet, bukan laba bersih. Padahal, dalam praktiknya, dokter harus menanggung berbagai pengeluaran, seperti sewa tempat, peralatan medis, dan tenaga asisten.

3. Pajak Progresif Memberatkan Dokter dengan Banyak Sumber Penghasilan

Dokter yang menerima penghasilan dari lebih dari satu sumber, seperti seminar atau konsultasi, dikenai pajak progresif lebih tinggi. Akibatnya, mereka harus membayar pajak tambahan 5% hingga 30% dari total pendapatan, meskipun penghasilan tersebut belum dipotong biaya operasional.

4. Minat Dokter untuk Melayani Pasien JKN Bisa Menurun

Sebagian besar dokter spesialis anak melayani pasien JKN dengan tarif standar yang ditetapkan pemerintah. Jika pajak tetap dihitung berdasarkan penghasilan bruto, bukan netto yang diterima dokter, maka beban pajak semakin tinggi, sementara tarif layanan tetap rendah. Hal ini berpotensi membuat dokter enggan melayani pasien JKN.

Baca juga: Pajak THR: Memahami Dasar Hukum dan Tarif Penghitungan Tunjangan Hari Raya

Bagaimana Negara Lain Mengatur Pajak untuk Tenaga Medis?

Beberapa negara telah menerapkan sistem pajak yang lebih fleksibel bagi dokter dan tenaga medis:

  • Amerika Serikat: Dokter mendapatkan pengurangan pajak khusus untuk biaya pendidikan dan pelatihan yang tinggi. Selain itu, ada potongan pajak bagi mereka yang bekerja di daerah dengan akses medis terbatas.
  • Jerman: Pajak penghasilan dokter dihitung berdasarkan pendapatan bersih setelah dikurangi semua biaya operasional dan pendidikan berkelanjutan.
  • Singapura: Dokter dengan penghasilan di bawah batas tertentu mendapatkan insentif pajak, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor layanan masyarakat.

Jika sistem perpajakan di Indonesia tidak segera dievaluasi, dikhawatirkan akan terjadi brain drain, di mana dokter lebih memilih bekerja di luar negeri yang menawarkan regulasi pajak yang lebih adil.

Kesimpulan

Kebijakan pajak tenaga medis dalam PMK No. 168 Tahun 2023 menimbulkan banyak kritik karena dianggap memberatkan dokter, terutama mereka yang bekerja di rumah sakit atau memiliki banyak sumber penghasilan. Pajak yang dikenakan berdasarkan penghasilan bruto, bukan pendapatan riil, dinilai tidak adil dan bisa mengurangi minat dokter untuk melayani pasien JKN.

IDAI menyerukan penundaan pelaporan pajak sebagai bentuk protes, sekaligus mendesak Kementerian Keuangan untuk mengkaji ulang kebijakan ini. Jika tidak ada revisi, sistem perpajakan ini dikhawatirkan akan mengurangi jumlah dokter yang bersedia melayani pasien JKN dan memperburuk akses kesehatan masyarakat.

Hubungi Kami :

Hot Line : (+62) 21-8690-9226

WhatsApp : 0817-9800-163

HP : 0817-9800-163

Email: info@citraglobalconsulting.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top