Dalam beberapa tahun terakhir, industri keuangan dan sektor fiskal di Indonesia telah diwarnai oleh berbagai skandal yang memicu kekhawatiran luas di kalangan masyarakat dan pelaku ekonomi. Kasus-kasus fraud ini bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap institusi keuangan dan fiskal yang seharusnya menjadi pilar utama perekonomian nasional.
Skandal dalam Industri Keuangan: Dari Asabri hingga Indosurya
Industri jasa keuangan di Indonesia telah menghadapi tantangan serius akibat berbagai kasus fraud yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Berdasarkan data dari Satgas Investasi Bodong Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total kerugian akibat penipuan di sektor ini mencapai Rp 123,51 triliun dalam periode 2018 hingga 2022. Pada tahun 2022 saja, terdapat 97 kasus investasi ilegal, 619 kasus pinjaman online (pinjol) ilegal, dan 62 kasus gadai ilegal yang mengindikasikan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor ini.
Kasus-kasus besar seperti skandal PT Asabri, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 22,78 triliun, PT Jiwasraya dengan kerugian Rp 16,81 triliun, serta kasus PT Indosurya Inti Finance yang merugikan nasabah hingga Rp 106 triliun, menunjukkan betapa rapuhnya tata kelola dalam industri keuangan Indonesia. Skandal-skandal ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merusak reputasi sektor keuangan di mata publik.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah bertindak tegas dengan mengenakan sanksi administratif kepada berbagai manajer investasi dan emiten yang terlibat dalam pelanggaran di pasar modal. Pada bulan April 2024, OJK memberikan sanksi berupa denda sebesar Rp 3,6 miliar kepada tiga manajer investasi dan satu emiten. Selain itu, sepanjang tahun 2024, OJK telah menjatuhkan sanksi administratif senilai Rp 22,37 miliar kepada 55 pihak yang terbukti melanggar regulasi di sektor keuangan.
Pentingnya Good Corporate Governance (GCG) dalam Menjaga Stabilitas Keuangan
Keberhasilan sektor keuangan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada penerapan tata kelola yang baik atau Good Corporate Governance (GCG). Tanpa tata kelola yang baik, industri keuangan rentan terhadap berbagai risiko, termasuk penipuan dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, penerapan standar GCG yang ketat, termasuk audit eksternal terhadap pengendalian internal dan penilaian risiko fraud secara berkala, menjadi kunci untuk menjaga integritas dan stabilitas sektor keuangan.
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merekomendasikan serangkaian langkah anti-fraud, seperti pelatihan anti-fraud bagi karyawan dan penilaian risiko fraud secara formal, untuk meminimalkan peluang terjadinya penipuan dalam industri keuangan. Langkah-langkah ini penting untuk membangun kultur korporasi yang transparan dan bertanggung jawab, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri keuangan.
Skandal di Sektor Fiskal: Transaksi Mencurigakan dan Tantangan Pajak
Sektor fiskal Indonesia, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), juga tidak luput dari skandal. Baru-baru ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap adanya dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun di dua institusi tersebut. Temuan ini mengindikasikan adanya praktek fraud yang berpotensi merugikan negara secara signifikan, mengingat DJP dan DJBC merupakan pilar utama penerimaan negara.
Meskipun realisasi penerimaan pajak meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan capaian Rp. 2.034,5 triliun pada tahun 2022, tax ratio Indonesia masih rendah, hanya sekitar 10,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia, yang memiliki tax ratio di atas 13 persen. Potensi pajak yang hilang akibat praktek fraud dan lemahnya pengawasan menjadi tantangan besar bagi sektor fiskal Indonesia.
Baca Juga: Kasus Penyalahgunaan Data Pribadi Dewi Rahmawati Alami Kerugian Akibat Oknum HRD
Reformasi Birokrasi dan Digitalisasi sebagai Solusi
Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, reformasi birokrasi dan digitalisasi sistem administrasi pajak inti. (Core Tax System) menjadi solusi yang tidak bisa ditunda lagi. Dengan mempercepat digitalisasi, pengelolaan pajak akan menjadi lebih efisien dan transparan. Yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan negara dan mendekati potensi pajak yang sebenarnya.
Selain itu, perbaikan pengendalian internal dan pengawasan di DJP dan DJBC sangat penting untuk mencegah praktek fraud yang merugikan negara. Dalam jangka panjang, reformasi kelembagaan, termasuk kemungkinan memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan untuk meningkatkan otonomi dan efisiensi, perlu dipertimbangkan.
Kesimpulan
Kasus-kasus fraud yang melanda industri keuangan dan sektor fiskal Indonesia menegaskan pentingnya reformasi tata kelola dan pengawasan yang lebih ketat. Dengan memperkuat tata kelola yang baik, baik di sektor keuangan maupun fiskal. Indonesia dapat membangun kembali kepercayaan publik dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Hubungi Kami :
Hot Line : (+62) 21-8690-9226
WhatsApp : 0817-9800-163
HP : 0817-9800-163
Email: info@binacitraglobal.com