Tarif Pembayaran PBB-P2

Tarif Pembayaran PBB-P2

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB‑P2) menjadi salah satu jenis pajak daerah penting yang menjadi sumber pendapatan bagi pemerintah lokal. Pajak ini dikenakan atas kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan bumi dan/atau bangunan (kecuali untuk kawasan perkebunan, pertambangan, atau kehutanan). Pemahaman mendalam mengenai mekanisme, tarif, dan kewajiban membayar adalah kunci untuk memastikan kepatuhan dan menghindari sanksi. Artikel ini menyajikan ulasan komprehensif untuk memperjelas aspek kritis PBB‑P2 beserta implikasinya.

Pengertian dan Dasar Hukum

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB‑P2) adalah pajak daerah yang dikenakan atas kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan atas bumi dan/atau bangunan oleh orang pribadi maupun badan. Dasar hukum PBB‑P2 adalah Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Siapa yang Wajib Membayar PBB-P2?

Wajib membayar PBB‑P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata memiliki hak atas bumi, memperoleh manfaat dari bumi, atau menguasai dan/atau memanfaatkan bangunan tersebut. Artinya, meskipun Anda belum menyelesaikan AJB, jika SPPT masih atas nama pihak lain, maka secara legal kewajiban tetap berada pada nama yang tercantum dalam SPPT.

Tarif PBB-P2

Menurut UU HKPD Pasal 41, tarif maksimum PBB‑P2 ditetapkan sebesar 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Namun, pemerintah daerah memiliki fleksibilitas untuk menetapkan tarif lebih rendah—seperti untuk lahan pertanian dan peternakan—sesuai kebijakan lokal.

Contoh Tarif Progresif PBB-P2 di Kota Surakarta

Kota Surakarta menerapkan tarif PBB-P2 secara progresif berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Tarif ini diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2011 dan diperbarui melalui Perda Nomor 14 Tahun 2023. Tarifnya terbagi menjadi tiga lapisan: pertama, untuk objek dengan NJOP hingga Rp 1 miliar, tarif yang berlaku adalah 0,1 %. Jika NJOP berada di antara Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar, tarifnya meningkat menjadi 0,15 %. Sedangkan apabila NJOP melebihi Rp 2 miliar, tarif yang dikenakan sebesar  .

Sebagai tambahan, untuk objek berupa lahan produksi pangan dan ternak—kategori yang secara sosial dianggap mendukung ketahanan pangan—Surakarta menetapkan tarif yang lebih rendah lagi, yakni 0,07%. Dengan demikian, regulasi ini memberikan skema tarif yang bertujuan adil dan kontekstual, menyesuaikan beban pajak dengan nilai properti serta fungsi sosial atau ekonomi yang diembannya.

Dampak Tarif PBB-P2

1. Dampak terhadap Pendapatan Daerah

Dengan adanya fleksibilitas tarif, daerah yang menetapkan tarif maksimal 0,5% bisa meraih pendapatan lebih besar, mendukung pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.

2. Keadilan Pajak

Diferensiasi tarif—misalnya pemberian tarif rendah untuk lahan pertanian—menunjukkan pendekatan pajak yang lebih inklusif dan merespons karakteristik lokal.

3. Beban bagi Wajib Pajak

Wajib pajak properti dengan nilai tinggi akan membayar pajak lebih besar jika tarif maksimal berlaku. Hal ini mendorong pentingnya transparansi tarif dan basis NJOP dalam perencanaan fiskal pribadi maupun korporasi.

Kesimpulan

PBB-P2 adalah pajak strategi daerah, dengan tarif maksimum 0,5%, dasar perhitungan NJOP dikurangi NJOPTKP, dan wajib dibayar oleh pihak yang memiliki atau memanfaatkan properti tersebut. Format tarif fleksibel antar daerah memungkinkan adaptasi terhadap konteks lokal dan tujuan pembangunan.

Apabila Anda memerlukan bantuan dalam menghitung PBB-P2, memahami tarif di wilayah Anda, atau melakukan keberatan/peninjauan, kami siap membantu dengan analisis mendalam dan strategi tepat!

Bagikan artikel

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top