Tragedi kebakaran yang menimpa gedung Terra Drone Indonesia di Kemayoran pada Desember 2025 meninggalkan duka sekaligus peringatan serius soal keselamatan bangunan. Sebanyak 22 korban jiwa telah berhasil diidentifikasi oleh RS Polri, dan seluruh keluarga sudah menerima kepastian mengenai kondisi anggota keluarganya, sebagaimana dilaporkan oleh Gaya Bekasi. Penyebab kematian para korban menurut hasil penyelidikan kepolisian, sebagaimana disampaikan CNBC Indonesia, didominasi oleh paparan karbon monoksida (CO) dari asap kebakaran yang memenuhi gedung, bukan luka bakar langsung. Hal ini menunjukkan betapa cepat dan fatalnya penyebaran asap ketika sistem keselamatan tidak mampu menahan eskalasi api.
Dugaan penyebab awal kebakaran mengarah pada ledakan baterai lithium yang digunakan untuk drone, sebagaimana diberitakan oleh CNN Indonesia dan Detik. Baterai lithium memang dikenal memiliki risiko thermal runaway, yaitu keadaan ketika baterai mengalami kenaikan suhu ekstrem dan meledak akibat kerusakan internal atau perlakuan yang tidak sesuai. Saksi menyebutkan bahwa api pertama muncul dari area tempat baterai drone sedang dikerjakan atau disimpan, lalu merambat dengan cepat ke material sekitar hingga akhirnya memenuhi lantai bangunan dengan asap pekat. Upaya awal untuk memadamkan api menggunakan APAR tidak berhasil menghentikan perkembangan api, dan kondisi ruangan yang tertutup ikut mempercepat penumpukan asap beracun.
Fakta-fakta ini menegaskan bahwa risiko kebakaran tidak semata-mata bersumber dari struktur bangunan, melainkan juga dari aktivitas internal berisiko tinggi, terutama yang melibatkan baterai lithium atau perangkat elektronik lainnya. Pada titik inilah relevansi Sertifikat Laik Fungsi (SLF) menjadi penting untuk dibahas, terutama untuk menjawab apakah standar kelayakan gedung saat ini cukup dalam menghadapi risiko operasional modern.
Peran dan Keterbatasan SLF dalam Menjamin Keselamatan Gedung
Sertifikat Laik Fungsi (SLF) merupakan dokumen yang menyatakan bahwa suatu bangunan telah memenuhi persyaratan teknis dan administratif sehingga aman digunakan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung. Dalam proses penerbitannya, SLF memverifikasi berbagai aspek, seperti kekuatan struktur, instalasi kelistrikan, sistem ventilasi, sanitasi, kenyamanan, aksesibilitas, dan terutama sistem proteksi kebakaran. Sistem ini mencakup detektor asap, alarm, sistem sprinkler, jalur tangga darurat, pintu evakuasi, serta ketersediaan APAR dengan standar yang sesuai.
Dengan demikian, SLF berfungsi sebagai jaring pengaman dasar agar sebuah bangunan memiliki alat pencegah, pendeteksi, dan pengendali kebakaran yang memadai sebelum digunakan secara operasional. Tanpa SLF, tidak ada jaminan bahwa bangunan memenuhi standar keselamatan minimum yang diwajibkan negara, sehingga risiko korban jiwa dalam insiden kebakaran dapat meningkat drastis.
Namun, SLF memiliki batasan tertentu yang muncul jelas dalam konteks kasus Terra Drone. SLF memeriksa kelayakan bangunan, tetapi belum tentu memeriksa kelayakan aktivitas berisiko tinggi yang dilakukan di dalam bangunan. Penyimpanan dan penanganan baterai lithium, misalnya, memiliki standar keselamatan tersendiri: baterai harus disimpan di ruang tahan api, dipisahkan dari material mudah terbakar, dilindungi sistem ventilasi khusus, dan dilengkapi alat pemadam kebakaran kelas tertentu (Class D) yang mampu menangani kebakaran logam. Aktivitas seperti ini tidak secara otomatis tercakup dalam standar SLF yang sifatnya general dan berbasis fungsi bangunan, bukan spesifikasi aktivitas internal.
Kondisi ini membuat risiko operasional seperti ledakan baterai lithium dapat berada di luar cakupan proteksi yang dijamin oleh SLF. Meski gedung telah “layak fungsi”, belum tentu gedung tersebut layak untuk aktivitas berisiko tinggi, seperti penyimpanan energi atau operasi teknologi. Artinya, pemilik bangunan wajib menambah proteksi khusus yang disesuaikan dengan aktivitasnya, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 59 PP 16/2021, yang mengatur perubahan fungsi ruang dan penyesuaian persyaratan teknis apabila bangunan digunakan untuk kegiatan yang berbeda dari desain awalnya.
Baca juga: SLF Jaminan Legalitas dan Keamanan Bangunan Anda
Mengapa SLF Tetap Penting, Namun Perlu Pendekatan yang Lebih Dinamis
Walaupun memiliki keterbatasan, SLF tetap merupakan instrumen fundamental dalam memastikan keselamatan dasar bangunan. Gedung yang memiliki SLF seharusnya sudah memiliki sistem deteksi dini, jalur evakuasi yang aman, serta instalasi yang memadai untuk memperlambat penyebaran api. Dalam banyak kasus, sistem SLF yang berfungsi baik dapat menyelamatkan nyawa dengan memberi waktu tambahan untuk evakuasi. Namun tragedi Terra Drone menegaskan bahwa SLF tidak boleh diperlakukan sebagai dokumen statis, melainkan sebagai komitmen dinamis yang harus diperbarui ketika fungsi aktivitas gedung berubah atau ketika ada material berisiko tinggi yang digunakan.
Selain itu, pemerintah daerah perlu mempertimbangkan untuk memperluas cakupan SLF agar memasukkan penilaian risiko operasional modern, terutama yang melibatkan bahan berenergi tinggi seperti baterai lithium, perangkat penyimpanan energi, laboratorium, atau fasilitas produksi teknologi. Pemilik dan pengelola gedung pun harus lebih aktif dalam menerapkan langkah-langkah tambahan, mulai dari pelatihan darurat, audit internal rutin, hingga instalasi proteksi khusus yang sesuai dengan risiko aktivitas mereka.
Penutup
Kebakaran gedung Terra Drone mengungkapkan bahwa keselamatan gedung adalah tanggung jawab bersama yang melibatkan pemerintah, pemilik bangunan, pengelola, dan pengguna. SLF tetap menjadi pondasi penting dalam memastikan bahwa gedung aman digunakan, namun kasus ini mengajarkan bahwa standar keselamatan perlu diperluas, diperbarui, dan diadaptasi terhadap risiko teknologi modern. Jika SLF dan pengelolaan risiko operasional dapat berjalan beriringan secara komprehensif, tragedi serupa dapat dicegah dan keselamatan publik dapat lebih terjamin.



